20 June 2013

Qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah



Islam sebagai agama syumul dari seluruh agama samawi diturunkan di negeri Arab sehingga bahasa manusia yang digunakan untuk menyampaikan Kitab pedoman pemeluknya, Alqur’an, pun menggunakan bahasa Arab sebagaiman surat Thaha:113, Fusshilat: 44, Syu’ara:198-199. Dan memang karena Rasul umat Islam berbangsa Arab sehingga mudah untuk menyampaikan maksud-maksud Allah SWT sebagai syari’ (pemilik syari’at. Bagi agama Islam, Kitab ini merupakan sumber utama dari hukum yang diterapkan lalu disusul oleh As-Sunnah. 

Namun, tidak semua pemeluk agama Islam merupakan bangsa Arab yang merupakan native speaker (penutur asli)  namun ada juga yang ‘ajamiyyah (non-Arab) sehingga tidak semua orang Islam bisa memahami bahasa Arab dengan baik. Orang Arab asli pun, meski paham bahasa Arab tetapi tidak semua paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini merupakan problema tersendiri karena kebutuhan untuk memahami agama dengan baik merupakan salah satu hal yang paling mendasar. Dan itu bisa dilakukan terutama apabila seorang muslim memahami Alqur’an dan As-Sunnah, sebagai sumber hukum utama yang berbahasa Arab, dengan baik.

Dan orang yang berusaha memahami Al-qur’an dan As-Sunnah pun menghadapi perbedaan-perbedaan hasil pemahaman antara satu dengan yang lainnya. Maka disinilah perlu adanya kaidah-kaidah bahasa hukum yang standard supaya lebih mudah dan relatif mempersempit peluang perbedaan yang terjadi.


Qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah


Dalam menggali hukum Islam dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kita diberi dua macam qawaid yang sangat penting, yakni qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk plural (jamak) dari kata qa’idah yang dapat diartikan secara bebas sebagai kaidah dalam bahasa Indonesia. Namun dalam hal ini yang dimaksud dengan qa’idah, mengutip pendapat Az-Zarqa yaitu حكم اغلبي ينطبق على معظم جزئياته (hukum yang aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar bagian-bagiannya). (As-Shiddiqi, 1976:442).  

Sebenarnya banyak definisi tentang apa yang dimaksud dengan qawaid namun nampaknya definisi ini yang paling cocok, karena dengan alasan sebagai berikut (Usman, 2002: 4). Pertama, kaidah merupakan hasil ijtihad para ulama, dan saya yakin masing-masing ulama mempunyai kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga konklusi atas hasil ijtihad pun seringkali berbeda. Kedua, perumusan kaidah berasal dari dalil, yang mana dalil itu sendiri bersifat qath’iy dan dzanni. Adapun mana dalil yang qath’iy dan mana yang dzanni itupun para ulama berbeda pendapat. Ketiga, dalam rumusan hukum fiqh, selalu ada yang namanya pengecualian istitsna’, sehingga dalam kondisi pengecualian itu pastilah tidak berlaku kaidah-kaidah yang telah dirumuskan.

Sedangkan kata ushuliyah diambil dari kata “Ashal” yang ditambah dengan ya’ nisbah (ya’ yang berfungsi untuk membangsakan/menjeniskan). Secara bahasa, kata Ashal itu berarti “sesuatu yang dijadikan pijakan dasar atas sesuatu yang lain” (ibid, 5). Adapun ashal secara terminologi dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Ashal berarti Kaidah Kulliyah (peratutan umum).Peraturan umum dalam hal ini adalah melaksanakan ketentuan oleh syara’ kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti memakan mayat, darah, dan daging babi dalam keadaan terpaksa. Sedangkan hukum asal dari pada memakan mayat, darah, dan daging babi itu adalah haram. Allah berfirman :
    حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ …{المائدة : 3}
    Artinya : “Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi… “            (Al-Maidah 3).

Yang mana ayat tersebut dijadikan pijakan sebuah kaidah “semua bangkai itu haram”

  1. Ashal berarti Rajih (terkuat).
    Maksud rajih adalah asal dari pada perkataan ialah hakikatnya, yakni yang kuat atau yang rajih dalam menetapkat, pengertian sesuatu perkataan yang paling kuat adalah makna hakikatnya. “Al-Ashlu fil kalami all-haqiqah”.
  2. Ashal berarti mustashhab yaitu sebuah kaidah fiqih:
    الاصل بقاء ماكان على ماكان
    ” Tetap apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
    Maksud dari kaidah di atas adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada. Seperti saat kita ragu apakah masih sah wudhu kita ataukah sudah batal, maka yang diambil bahwa wudhu kita masih sah.
  3. Ashal berarti Maqis ‘alaih (tempat mengkiaskan).
    Seperti keharaman mengambil riba pada padi didasarkan pada adanya keharaman mengambil riba pada gandum. Hukum asal dari pengharaman mengambil riba pada padi diqiyaskan kepada dalil yang melarang pengharaman riba pada gandum, berdasarkan ‘illat bahwa gandum dan padi merupakan makanan pokok bagi manusia. Gandum adalah ashal dan padi adalah furu’.
  4. Ashal berarti dalil (alasan).
    Maksudnya ashal hukum sesuatu karena dalilnya. Allah berfirman :
    وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ … {البقرة : 43}
    “Dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat…” (Al-Baqarah: 43).
    Dalil di atas menunjukkan perintah tentang menunaikan sholat dan zakat, sedangkan tentang pengertian bahwa shalat dan zakat itu diwajibkan diambil dari kaidah yaitu :
    الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل غيره إلا بقر ينة
    “Ashal dari pada amar (perintah) itu adalah wajib dan tidak menunjukkan arti selain wajib kecuali terdapat qarinahnya”.

Adapun yang dimaksud dengan qawaid ushuliyah ini berarti kaidah-kaidah yang dipakai para ulama’ untuk menggali hukum-hukum yang ada dalam Alqur’an dan As-sunnah yang mana kaidah-kaidah itu sebenarnya berdasarkan makna dan tujuan yang telah diungkapkan oleh para ahli bahasa arab (pakar linguistik Arab) (Syarifudin, 2009: 2; Firdaus, 2004: 130; Usman, 2002: 6; Al-Hallaq, 2001: 63). Sehingga dapat dikatakan bahwa qawaid ushuliyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat lughawiyah (berjenis kaidah bahasa).

Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah yang mana semua permasalahan fiqh itu dikembalikan kepada kaidah-kaidah tersebut (As-Suyuthi, tt: 5). Qawaid fiqhiyyah ini pada dasarnya berjumlah lima yakni (Sayyid Abi Bakar Al-Ahdal Alyamani dalam Nadzam Faraidul Bahiyyah):

a.    Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan.
الأمور بمقاصدها “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5}
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh :
 Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah maka kita akan mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta untuk zakat apabila tidak dibarengi
b.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan.
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا  وَجَدَ  أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ  شَيْئًا  فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ  مِنْهُ  شَيْءٌ  أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ  مِنَ  الْمَسْجِدِ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا {روه مسلم}
Artinya : “Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.”

Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum, sedang pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas. Dan hal itu dapat berubah jika yang utang dapat rnemberikan bukti – bukti baru atas pelunasan utangnya.
c.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan.
المشقة تجلب التيسير “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ {روه البخارى}
” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “

Firman Allah SWT yang berarti : “Seorang hamba tidak dibebani sesuatu kecuali apa yang sanggup untuk ditanggung”.
d.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan.
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع الامر ضاق
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”. Contoh lain, Misalnya seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
e.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan.
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”.
Contohnya : hukum syari’ah menetapkan  hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan.

Dalam Qawaid Ushuliyah lughawiyah terdapat tiga metode (Usman, 2002: 8 – 13), yait: pertama, metode mutakallimin, metode ini juga disebut juga dengan metode syafi’iyyah yang dikembangkan oleh Asy’ariyah dan Imam Syafi’i.  Mereka menggunakan metode ini dengan cara memproduksi kaidah-kaidah serta mengeluarkan qonun-qonun ushuliyah dari lafal-lafal serta uslub-uslub bahasa Arab. Kedua, metode ahnaf, yang dicetuskan oleh Imam Hanafi dengan jalan mengadakan induksi (istiqra’) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi darinya. Ketiga, metode campuran, yakni penggabungan antara metode pertama dan metode kedua.

Sedangkan perbedaan antara metode mutakallimin dan metode ahnaf adalah sebagai berikut:

  1. Metode Mutakallimin
    1. Metodenya hanya dari cara istinbathnya sendiri
    2. Kaidahnya dari pemahaman makna lughawi dan uslub-uslubnya
    3. Disesuaikan dengan hukum logika
    4. Terdapat relevansi dengan kaidah ilmu kalam
    5. Membagi kejelasan dilalah dengan nash dan dhohir
    6. Membagi pemahaman dilalah dengan mujmal dan mutasayabih
    7. Membagi petunjuk hukum dengan manthuq dan mafhum
    8. Mengambil mafhum mukhalafah sebagai hujjah
    9. Dilalah ‘am yang telah disebutkan satuannya dinyatakan sebagai dalil dzanni
    10. Pemahaman makna muthlaq diikutkan pada makna muqayyad
    11. Membuang hadits mursal sebagai hujjah bila diperlukan
    12. Menerima hadits ahad apabila sanadnya shahih.
  2. Metode Ahnaf
    1. Kaidah yang disusun hanya untuk menguatkan mazhabnya.
    2. Kaidah yang disusun bukan merupakan penentu terhadap hukum far’iyah
    3. Kaidah ushuliyah hanya diambil dari pendapat imamnya
    4. Tidak menerima kaidah-kaidah ilmu kalam
    5. Kaidah yang tersusun tidak memperhatikan pemahaman makna lughawi melainkan meriwayatkan yang dinukil dari permasalahan far’iyah dari imam madzhabnya
    6. Membagi kejelasan dilalah dengan dzohir, nash, mufassar, muhkam
    7. Membagi pemahaman makna dilalah dengan khafi, musykil, mujmal, mutasayabih
    8. Membagi petunjuk hukum dengan dilalah ‘ibarah, dilalah isyarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidlo’
    9. Tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai nash syar’iyyah
    10. Dilalah ‘am yang telah disebutkan satuan-satuannya dianggap qath’i dilalah
    11. Tidak membawa makna muthlaq pada muqayyad.
    12. Menggunakan hadits mursal bila diperlukan dan menolak hadits ahad.

Kata yang Jelas dan Tak Jelas Penunjukannya

Kata atau lafadz yang jelas penunjukannya adalah lafadz yang terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu maka hukum dapat ditetapkan tanpa ada penjelasan lagi. Sedangkan lafadz yang tak jelas penunjukannya adalah lafadz yang maknanya dapat dipahami dengan bantuan dari luar lafadz tersebut (Syarifudin, 2009b: 3).

Lafadz yang terang artinya mempunyai empat tingkat kekuatan dari segi kejelasannya, yakni jelas (Zhahir), lebih jelas (Nash), sangat jelas (mufassar), dan paling jelas (muhkam).  Lafadz zhahir menurut Abdul Wahab Khallaf adalah “lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung dengan pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan ditakwilkan”. Contoh

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (Al-baqarah, 275)

dengan jelas sekali ayat ini menyatakan bahwa jual beli itu halal dan riba itu diharamkan. Namun maksud dari ayat itu tidak sesederhana itu, ayat ini juga dimaksudkan untuk membantah kaum munafik yang menyamakan riba dengan itu sama hukumnya dengan jual beli.

Lafadz dzahir itu disamping mengandung arti menurut dzahirnya namun juga dimaksudkan untuk adanya kemungkinan merujuk pada maksud lain.

Selanjutnya lafadz nash, pengertian nash disini bukanlah dalil syara’ (Al-qur’an dan As-Sunnah) ataupun qaul imam mujtahid akan tetapi kedudukan lafadz dari segi kejelasannya. Nash diartikan oleh ulama Hanafiyah dengan “lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan ditakwilkan”. Lafadz nash itu lebih jelas daripada dzahir karena ada qarinah yang datang dari lafadz pembicara, jika tanpa qarinah tersebut maka lafadz itu tidak akan jelas. Contoh:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (al-Hasyr, 7)

Ayat ini secara nash merupakan petunjuk untuk mengikuti Rasul dalam hal pembagian harta rampasan baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Karena untuk maksud inilah ayat tersebut diturunkan menurut “asalnya” yang dapat dipahami dari ungkapan ayat itu sendiri. Namun dari ayat ini pula bisa dipahami arti yang dzahir yakni wajib mengerjakan apa yang diperintah Rasul dan mencegah apa yang dijauhi Rasul.

Kemudian lafadz mufassar, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan  mufassar adalah “lafadz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut”. Penunjukan lafadz tersebut pada makna jelas sekali, tidak memerlukan qarinah dari luar dan karena jelas dan terinci maknanya, tidak akan membuka kemungkinan takwil. Contoh:

   وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (An-Nur:4).

Bilangan dera dalam ayat ini jelas sekali sehingga tidak ada kemungkinan dipahami lebih atau kurang dari ayat tersebut.

Jenis terakhir dari kata yang jelas adalah lafadz muhkam, yakni “suatu lafadz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafadznya dengan penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan adanya pembatalan, penggantian maupun ta’wil”. Contoh  kata وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا  pada ayat diatas kata selamanya ini menunjukkan bahwa kesaksiannya itu tidak diterima untuk selamanya, dalam arti tidak dicabut.

Bagian selanjutnya adalah lafadz yang tak terang penunjukannya, ada empat jenis juga, yaitu; tidak terang (khafi), lebih tidak terang (musykil), sangat tidak terang (mujmal), dan paling tidak terang (mutasayabih).

Lafadz khafi, “suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz”. Contoh:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا (Al-maidah:38)

Kata “pencuri” dalam ayat tersebut sebenarnya cukup jelas, yaitu “orang yang mengambil harta yang dinilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi” dan penerapan hukumnya jelas. Namun lafadz tersebut mempunyai satuan (afrad) yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan. Dan semuanya mempunyai sifat yang tidak sama. Apakah kemudian hukum akan diterapkan sama? Disinilah timbul kesamaran tersebut.

Lafadz Musykil, “suatu lafadz yang samar maknanya karena lafadz itu sendiri”. Contoh: وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (albaqarah-228)

Kata قُرُوء  disini mengandung dua arti yakni suci dan haid sehingga untuk menjelaskannya pun perlu qarinah dari luar. Imam Hanafi mengartikannya dengan “haid” sedangkan Imam Syafi’i mengartikannya dengan “suci”.

Lafadz mujmal, “suatu lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum terkandung didalamnya”.”makna kata itu bukanlah yang dikehendaki”(Moqsith Ghozali)[1] Contoh pemindahan lafal dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’, seperti lafal shalat, zakat, shoum, haji tidak akan dipahami apabila tidak ada sunnah Nabi SAW yang menjelaskannya.

Lafadz mutasyabih, “lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya”. Ada yang mengatakan ayat mutasyabih bisa ditakwil. Contoh: وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (Ar-rahman 27).

Dilalah (penunjukan) atas hukum

Syarifudin (2009b: 131) menjelaskan bahwa secara sederhana, dilalah dapat diartikan dengan “memahami sesuatu atas sesuatu” kata sesuatu yang pertama disebut dengan madlul alias hukum, sedangkan sesuatu yang kedua disebut dengan dalil. Untuk mengetahui sesuatu tidaklah mesti tahu sesuatu itu secara langsung namun cukup menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut juga dengan berpikir secara dilalah.

Dalam pandangan ulama Hanafiyah, dilalah itu ada dua jenis, yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah. Dilalah lafdziyah sendiri terbagi menjadi empat macam, yaitu: pertama, dilalah ibarah atau disebut juga dengan ibarat nash, yakni, “makna yang bisa dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash ataupun dzahir”, atau makna tekstual. Makna kata yang dimaksud langsung dapat dipahami dari lafadz yang disebutkan apakah dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zhahir). Pemahamannya menurut apa adanya dijelaskan dalam lafadz itu. contoh:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)

Ayat ini menurut ibarat nash atau yang tersurat adalah bolehnya menikahi perempuan sampai empat orang bila terpenuhi syarat adil. Lafadz ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan hal tersebut. disamping itu secara dzahir-nya ayat ini menunjukkan bahwa perkawinan itu mubah.

Kedua, dilalah isyarah atau isyarah nash, “apa yang ditunjuk oleh lafadz tidak melalui ibaratnya”. Contoh: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (Al-baqarah:233). Ibarat nash-nya adalah “kewajiban mencari nafkah oleh ayah”, Dalam ayat ini, kata الْمَوْلُودِ لَهُ merupakan pengganti kata “Al-Abu” Ayah. Meskipun dua kata itu sama artinya kenapa Allah lebih memilih kata yang pertama? Lafadz yang dimaksud dengan kata ayah disini terdiri dari rangkaian dua kata yakni الْمَوْلُود yang berarti “anak” dan لَهُ yang berarti “baginya (ayah). Berarti “anak untuk ayah”. Ini berimplikasi hukum bahwa nasab anak kepada ayahnya bukan pada ibunya.

Ketiga, dilalah al-dilalah atau dilalah nash, “dilalah lafadz atas hukum yang dibicarakan untuk sesuatu yang tidak disebutkan karena dapat dipahami ada kaitannya berdasarkan pemahaman dari segi bahasa”. Hukum yang terdapat dalam suatu lafadz secara tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik lafadz itu, karena diantara keduanya terdapat hubungan. Sering disebut juga dengan mafhum muwafaqah ataupun qiyas jali. Contoh:  فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا  (Isra’:23). Berkata ah saja tidak boleh apalagi memukul dan menyakiti dengan cara yang lain.

Keempat, dilalah iqtidha’ atau iqtidha’ nash, “penunjukan lafadz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu”. contoh: وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (yusuf: 82)

Tidak mungkin bertanya pada kampung akan tetapi ayat ini memuat ‘penduduk kampung’. Contoh lain “hurrimat ‘alaikum al-maitatu”, yang diharamkan itu apanya “memakannya”, “menyentuhnya” atau bagaimana. Sehingga diperjelas dengan “aklul maitati”.

Dilalah yang kedua dalam pandangan Hanafiyah adalah dilalah ghairu lafdziyah, ada empat macam: pertama, “kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan”. Bila dalam sebuah ayat itu hukumnya tersurat maka dibalik yang tersurat itu bisa dipahami pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafadz itu. contoh, An-nisa;11:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ

Ibarah nash ini adalah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima 1/3. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah namun dapat dipahami bahwa ayah dapat 2/3.

Kedua, “dilalah keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan”. Diam saja cukup untuk memberi penjelasan akan hukum sesuatu.

Ketiga, “dilalah menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindari penipuan”. Tidak cukup diam untuk menjelaskan sesuatu, jadi perlu untuk berbicara.

Keempat, “dilalah sukut yang menyatakan ma’dud namun telah biasa dibuang untuk menghindari panjangnya ucapan kalau disebutkan”. Biasanya muncul dalam penyebutan angka-angka, Misalnya 1945 menjadi 45.

Dalam pandangan ulama syafi’iyah, dilalah itu ada dua macam juga, yakni dilalah manthuq dan dilalah mafhum. Dilalah manthuq, “penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafadz itu”. contoh:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ (An-nisa:23)

Secara jelas dilarang menikahi anak tiri dari istri yang sudah digauli.

Dilalah mafhum, “apa yang dipahami dari lafadz bukan menurut yang dibicarakan”. Ada dua macam yakni, mafhum muwafaqah seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Dan mafhum mukhalafah ialah mafhum yang lafadznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan atau hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. Contoh Annisa ayat 25:

 وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

Mafhum mukhalafah ayat ini adalah bahwa tidak boleh menikah dengan budak yang tidak mukmin.
_______________________
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an Al-Karim
Supiana dan Karman. M. 2002. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Terj. Halimuddin. Jakarta: Rineka Cipta
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Ibnu Abu Bakar. Al-Asybah Wa Nadzaahir Fil Furu’. Beirut: Darul Kutub Al-Islamiyah. tt.
As-Shiddiqi, Hasby. 1976. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Fidaus,. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta; Penerbit Zikrul Hakim
Syarifudin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jilid 2. Cet ke-5. Jakarta: Kencana.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Cet ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hallaq, Wael B. 2001. Sejarah Teori Hukum Islam. Cet ke-2. Terj. E. Kusnadiningrat dkk. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Yamani, Abi Bakar Al-Ahdal. Taqriirat Nadzam Faraidul Bahiyyah. Kediri: Pon. Pes. Lirboyo. Tt

No comments:

Post a Comment