Islam sebagai agama syumul dari
seluruh agama samawi diturunkan di negeri Arab sehingga bahasa manusia yang
digunakan untuk menyampaikan Kitab pedoman pemeluknya, Alqur’an, pun
menggunakan bahasa Arab sebagaiman surat Thaha:113, Fusshilat: 44,
Syu’ara:198-199. Dan memang karena Rasul umat Islam berbangsa Arab sehingga
mudah untuk menyampaikan maksud-maksud Allah SWT sebagai syari’ (pemilik
syari’at. Bagi agama Islam, Kitab ini merupakan sumber utama dari hukum yang
diterapkan lalu disusul oleh As-Sunnah.
Namun, tidak semua pemeluk agama
Islam merupakan bangsa Arab yang merupakan native speaker (penutur
asli) namun ada juga yang ‘ajamiyyah (non-Arab) sehingga tidak
semua orang Islam bisa memahami bahasa Arab dengan baik. Orang Arab asli pun,
meski paham bahasa Arab tetapi tidak semua paham dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab. Hal ini merupakan problema tersendiri karena kebutuhan untuk memahami
agama dengan baik merupakan salah satu hal yang paling mendasar. Dan itu bisa
dilakukan terutama apabila seorang muslim memahami Alqur’an dan As-Sunnah,
sebagai sumber hukum utama yang berbahasa Arab, dengan baik.
Dan orang yang berusaha memahami
Al-qur’an dan As-Sunnah pun menghadapi perbedaan-perbedaan hasil pemahaman
antara satu dengan yang lainnya. Maka disinilah perlu adanya kaidah-kaidah
bahasa hukum yang standard supaya lebih mudah dan relatif mempersempit peluang
perbedaan yang terjadi.
Qawaid ushuliyah dan qawaid
fiqhiyyah
Dalam menggali hukum Islam dari
Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kita diberi dua macam qawaid yang sangat
penting, yakni qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah. Qawaid merupakan
bentuk plural (jamak) dari kata qa’idah yang dapat diartikan secara
bebas sebagai kaidah dalam bahasa Indonesia. Namun dalam hal ini yang dimaksud
dengan qa’idah, mengutip pendapat Az-Zarqa yaitu حكم اغلبي ينطبق على معظم جزئياته (hukum yang aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi
sebagian besar bagian-bagiannya). (As-Shiddiqi, 1976:442).
Sebenarnya banyak definisi tentang
apa yang dimaksud dengan qawaid namun nampaknya definisi ini yang paling
cocok, karena dengan alasan sebagai berikut (Usman, 2002: 4). Pertama, kaidah
merupakan hasil ijtihad para ulama, dan saya yakin masing-masing ulama
mempunyai kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga konklusi atas hasil ijtihad
pun seringkali berbeda. Kedua, perumusan kaidah berasal dari dalil, yang mana
dalil itu sendiri bersifat qath’iy dan dzanni. Adapun mana dalil
yang qath’iy dan mana yang dzanni itupun para ulama berbeda
pendapat. Ketiga, dalam rumusan hukum fiqh, selalu ada yang namanya
pengecualian istitsna’, sehingga dalam kondisi pengecualian itu pastilah
tidak berlaku kaidah-kaidah yang telah dirumuskan.
Sedangkan kata ushuliyah diambil
dari kata “Ashal” yang ditambah dengan ya’ nisbah (ya’ yang berfungsi untuk
membangsakan/menjeniskan). Secara bahasa, kata Ashal itu berarti “sesuatu yang
dijadikan pijakan dasar atas sesuatu yang lain” (ibid, 5). Adapun ashal
secara terminologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Ashal berarti Kaidah Kulliyah (peratutan
umum).Peraturan umum dalam hal ini adalah melaksanakan ketentuan oleh
syara’ kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti memakan mayat, darah, dan
daging babi dalam keadaan terpaksa. Sedangkan hukum asal dari pada memakan
mayat, darah, dan daging babi itu adalah haram. Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ …{المائدة : 3}
Artinya : “Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi…
“
(Al-Maidah 3).
Yang mana ayat tersebut dijadikan
pijakan sebuah kaidah “semua bangkai itu haram”
- Ashal berarti Rajih (terkuat).
Maksud rajih adalah asal dari pada perkataan ialah hakikatnya, yakni yang
kuat atau yang rajih dalam menetapkat, pengertian sesuatu perkataan yang
paling kuat adalah makna hakikatnya. “Al-Ashlu fil kalami all-haqiqah”.
- Ashal berarti mustashhab yaitu sebuah kaidah fiqih:
الاصل بقاء ماكان على ماكان
” Tetap apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
Maksud dari kaidah di atas adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa
yang telah ada. Seperti saat kita ragu apakah masih sah wudhu kita ataukah
sudah batal, maka yang diambil bahwa wudhu kita masih sah.
- Ashal berarti Maqis ‘alaih (tempat mengkiaskan).
Seperti keharaman mengambil riba pada padi didasarkan pada adanya
keharaman mengambil riba pada gandum. Hukum asal dari pengharaman
mengambil riba pada padi diqiyaskan kepada dalil yang melarang pengharaman
riba pada gandum, berdasarkan ‘illat bahwa gandum dan padi merupakan
makanan pokok bagi manusia. Gandum adalah ashal dan padi adalah furu’.
- Ashal berarti dalil (alasan).
Maksudnya ashal hukum sesuatu karena dalilnya. Allah berfirman :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ …
{البقرة : 43}
“Dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat…” (Al-Baqarah: 43).
Dalil di atas menunjukkan perintah tentang menunaikan sholat dan zakat,
sedangkan tentang pengertian bahwa shalat dan zakat itu diwajibkan diambil
dari kaidah yaitu :
الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل غيره إلا بقر ينة
“Ashal dari pada amar (perintah) itu adalah wajib dan tidak menunjukkan
arti selain wajib kecuali terdapat qarinahnya”.
Adapun yang dimaksud dengan qawaid
ushuliyah ini berarti kaidah-kaidah yang dipakai para ulama’ untuk menggali
hukum-hukum yang ada dalam Alqur’an dan As-sunnah yang mana kaidah-kaidah itu
sebenarnya berdasarkan makna dan tujuan yang telah diungkapkan oleh para ahli
bahasa arab (pakar linguistik Arab) (Syarifudin, 2009: 2; Firdaus, 2004: 130;
Usman, 2002: 6; Al-Hallaq, 2001: 63). Sehingga dapat dikatakan bahwa qawaid
ushuliyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat lughawiyah (berjenis
kaidah bahasa).
Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah
kaidah-kaidah yang mana semua permasalahan fiqh itu dikembalikan kepada
kaidah-kaidah tersebut (As-Suyuthi, tt: 5). Qawaid fiqhiyyah ini pada
dasarnya berjumlah lima yakni (Sayyid Abi Bakar Al-Ahdal Alyamani dalam Nadzam
Faraidul Bahiyyah):
a. Kaidah yang
berkaitan dengan fungsi tujuan.
الأمور بمقاصدها “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5}
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang
itu hanyalah apa yang ia niati”.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara
perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat
ibadah satu sama lain.
Contoh :
Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah maka kita
akan mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta untuk zakat apabila
tidak dibarengi
b. Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan.
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ
عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي
بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ
مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ
الْمَسْجِدِ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا {روه مسلم}
Artinya : “Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut
kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka
janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.”
Misalnya ada dua orang yang
mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar
atau belum, sedang pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka
sumpah pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang
yakin menurut kaidah diatas. Dan hal itu dapat berubah jika yang utang dapat
rnemberikan bukti – bukti baru atas pelunasan utangnya.
c. Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan.
المشقة تجلب التيسير “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
{روه البخارى}
” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “
Firman Allah SWT yang berarti :
“Seorang hamba tidak dibebani sesuatu kecuali apa yang sanggup untuk
ditanggung”.
d. Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan.
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع الامر ضاق
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika
suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”. Contoh lain, Misalnya
seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia
tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas
keperluannya.
e. Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan.
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh
muslim maka baik pula disisi Allah”.
Contohnya : hukum syari’ah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun
tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya
dikembalikan pada kebiasaan.
Dalam Qawaid Ushuliyah lughawiyah
terdapat tiga metode (Usman, 2002: 8 – 13), yait: pertama, metode
mutakallimin, metode ini juga disebut juga dengan metode syafi’iyyah yang
dikembangkan oleh Asy’ariyah dan Imam Syafi’i. Mereka menggunakan metode
ini dengan cara memproduksi kaidah-kaidah serta mengeluarkan qonun-qonun
ushuliyah dari lafal-lafal serta uslub-uslub bahasa Arab. Kedua, metode ahnaf,
yang dicetuskan oleh Imam Hanafi dengan jalan mengadakan induksi (istiqra’)
terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian
makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil
konklusi darinya. Ketiga, metode campuran, yakni penggabungan antara metode
pertama dan metode kedua.
Sedangkan perbedaan antara metode
mutakallimin dan metode ahnaf adalah sebagai berikut:
- Metode Mutakallimin
- Metodenya hanya dari cara istinbathnya sendiri
- Kaidahnya dari pemahaman makna lughawi dan
uslub-uslubnya
- Disesuaikan dengan hukum logika
- Terdapat relevansi dengan kaidah ilmu kalam
- Membagi kejelasan dilalah dengan nash dan dhohir
- Membagi pemahaman dilalah dengan mujmal dan mutasayabih
- Membagi petunjuk hukum dengan manthuq dan mafhum
- Mengambil mafhum mukhalafah sebagai hujjah
- Dilalah ‘am yang telah disebutkan satuannya
dinyatakan sebagai dalil dzanni
- Pemahaman makna muthlaq diikutkan pada makna muqayyad
- Membuang hadits mursal sebagai hujjah bila diperlukan
- Menerima hadits ahad apabila sanadnya shahih.
- Metode Ahnaf
- Kaidah yang disusun hanya untuk menguatkan mazhabnya.
- Kaidah yang disusun bukan merupakan penentu terhadap
hukum far’iyah
- Kaidah ushuliyah hanya diambil dari pendapat imamnya
- Tidak menerima kaidah-kaidah ilmu kalam
- Kaidah yang tersusun tidak memperhatikan pemahaman
makna lughawi melainkan meriwayatkan yang dinukil dari permasalahan far’iyah
dari imam madzhabnya
- Membagi kejelasan dilalah dengan dzohir, nash,
mufassar, muhkam
- Membagi pemahaman makna dilalah dengan khafi,
musykil, mujmal, mutasayabih
- Membagi petunjuk hukum dengan dilalah ‘ibarah, dilalah
isyarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidlo’
- Tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai nash
syar’iyyah
- Dilalah ‘am yang telah disebutkan satuan-satuannya
dianggap qath’i dilalah
- Tidak membawa makna muthlaq pada muqayyad.
- Menggunakan hadits mursal bila diperlukan dan menolak
hadits ahad.
Kata yang Jelas dan Tak Jelas
Penunjukannya
Kata atau lafadz yang jelas
penunjukannya adalah lafadz yang terang artinya dan jelas penunjukannya
terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu maka hukum
dapat ditetapkan tanpa ada penjelasan lagi. Sedangkan lafadz yang tak jelas
penunjukannya adalah lafadz yang maknanya dapat dipahami dengan bantuan dari
luar lafadz tersebut (Syarifudin, 2009b: 3).
Lafadz yang terang artinya mempunyai
empat tingkat kekuatan dari segi kejelasannya, yakni jelas (Zhahir), lebih
jelas (Nash), sangat jelas (mufassar), dan paling jelas (muhkam). Lafadz
zhahir menurut Abdul Wahab Khallaf adalah “lafadz yang dengan sighatnya
sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung dengan pemahamannya
kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta
ada kemungkinan ditakwilkan”. Contoh
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (Al-baqarah,
275)
dengan jelas sekali ayat ini
menyatakan bahwa jual beli itu halal dan riba itu diharamkan. Namun maksud dari
ayat itu tidak sesederhana itu, ayat ini juga dimaksudkan untuk membantah kaum
munafik yang menyamakan riba dengan itu sama hukumnya dengan jual beli.
Lafadz dzahir itu disamping
mengandung arti menurut dzahirnya namun juga dimaksudkan untuk adanya
kemungkinan merujuk pada maksud lain.
Selanjutnya lafadz nash, pengertian
nash disini bukanlah dalil syara’ (Al-qur’an dan As-Sunnah) ataupun qaul imam
mujtahid akan tetapi kedudukan lafadz dari segi kejelasannya. Nash diartikan
oleh ulama Hanafiyah dengan “lafadz yang dengan sighatnya sendiri
menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung apa yang diungkapkan dan ada
kemungkinan ditakwilkan”. Lafadz nash itu lebih jelas daripada dzahir
karena ada qarinah yang datang dari lafadz pembicara, jika tanpa qarinah
tersebut maka lafadz itu tidak akan jelas. Contoh:
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (al-Hasyr, 7)
Ayat ini secara nash merupakan
petunjuk untuk mengikuti Rasul dalam hal pembagian harta rampasan baik yang
dibolehkan maupun yang tidak. Karena untuk maksud inilah ayat tersebut
diturunkan menurut “asalnya” yang dapat dipahami dari ungkapan ayat itu
sendiri. Namun dari ayat ini pula bisa dipahami arti yang dzahir yakni
wajib mengerjakan apa yang diperintah Rasul dan mencegah apa yang dijauhi
Rasul.
Kemudian lafadz mufassar, Abdul
Wahab Khallaf mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan mufassar adalah
“lafadz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang
terinci, begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari
lafadz tersebut”. Penunjukan lafadz tersebut pada makna jelas sekali, tidak
memerlukan qarinah dari luar dan karena jelas dan terinci maknanya,
tidak akan membuka kemungkinan takwil. Contoh:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ (An-Nur:4).
Bilangan dera dalam ayat ini jelas
sekali sehingga tidak ada kemungkinan dipahami lebih atau kurang dari ayat
tersebut.
Jenis terakhir dari kata yang jelas
adalah lafadz muhkam, yakni “suatu lafadz yang dari sighatnya sendiri
memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafadznya dengan
penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan adanya pembatalan,
penggantian maupun ta’wil”. Contoh kata وَلَا
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا pada
ayat diatas kata selamanya ini menunjukkan bahwa kesaksiannya itu tidak
diterima untuk selamanya, dalam arti tidak dicabut.
Bagian selanjutnya adalah lafadz
yang tak terang penunjukannya, ada empat jenis juga, yaitu; tidak terang (khafi),
lebih tidak terang (musykil), sangat tidak terang (mujmal), dan
paling tidak terang (mutasayabih).
Lafadz khafi, “suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan
(dilalah)-nya yang disebabkan faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz”. Contoh:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا (Al-maidah:38)
Kata “pencuri” dalam ayat tersebut
sebenarnya cukup jelas, yaitu “orang yang mengambil harta yang dinilai milik
orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi” dan penerapan
hukumnya jelas. Namun lafadz tersebut mempunyai satuan (afrad) yang
banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan. Dan semuanya mempunyai
sifat yang tidak sama. Apakah kemudian hukum akan diterapkan sama? Disinilah
timbul kesamaran tersebut.
Lafadz Musykil, “suatu lafadz yang samar maknanya karena lafadz itu
sendiri”. Contoh: وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (albaqarah-228)
Kata قُرُوء disini mengandung dua arti yakni
suci dan haid sehingga untuk menjelaskannya pun perlu qarinah dari luar. Imam
Hanafi mengartikannya dengan “haid” sedangkan Imam Syafi’i mengartikannya
dengan “suci”.
Lafadz mujmal, “suatu lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan
beberapa hukum terkandung didalamnya”.”makna kata itu bukanlah yang
dikehendaki”(Moqsith Ghozali)[1] Contoh pemindahan lafal
dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’, seperti
lafal shalat, zakat, shoum, haji tidak akan dipahami apabila tidak ada sunnah
Nabi SAW yang menjelaskannya.
Lafadz mutasyabih, “lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat
digunakan untuk mencapai artinya”. Ada
yang mengatakan ayat mutasyabih bisa ditakwil. Contoh: وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (Ar-rahman 27).
Dilalah (penunjukan) atas hukum
Syarifudin (2009b: 131) menjelaskan
bahwa secara sederhana, dilalah dapat diartikan dengan “memahami sesuatu
atas sesuatu” kata sesuatu yang pertama disebut dengan madlul alias
hukum, sedangkan sesuatu yang kedua disebut dengan dalil. Untuk
mengetahui sesuatu tidaklah mesti tahu sesuatu itu secara langsung namun cukup
menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau
isyarat disebut juga dengan berpikir secara dilalah.
Dalam pandangan ulama Hanafiyah, dilalah
itu ada dua jenis, yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu
lafdziyah. Dilalah lafdziyah sendiri terbagi menjadi empat macam, yaitu:
pertama, dilalah ibarah atau disebut juga dengan ibarat
nash, yakni, “makna yang bisa dipahami dari apa yang disebut
dalam lafadz, baik dalam bentuk nash ataupun dzahir”, atau makna tekstual.
Makna kata yang dimaksud langsung dapat dipahami dari lafadz yang
disebutkan apakah dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau
bukan menurut asalnya (zhahir). Pemahamannya menurut apa adanya
dijelaskan dalam lafadz itu. contoh:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
Ayat ini menurut ibarat nash atau
yang tersurat adalah bolehnya menikahi perempuan sampai empat orang bila
terpenuhi syarat adil. Lafadz ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan
hal tersebut. disamping itu secara dzahir-nya ayat ini menunjukkan bahwa
perkawinan itu mubah.
Kedua, dilalah isyarah atau
isyarah nash, “apa yang ditunjuk oleh lafadz tidak melalui
ibaratnya”. Contoh: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (Al-baqarah:233). Ibarat nash-nya adalah “kewajiban mencari
nafkah oleh ayah”, Dalam ayat ini, kata الْمَوْلُودِ
لَهُ merupakan pengganti kata
“Al-Abu” Ayah. Meskipun dua kata itu sama artinya kenapa Allah lebih memilih
kata yang pertama? Lafadz yang dimaksud dengan kata ayah disini terdiri dari
rangkaian dua kata yakni الْمَوْلُود yang berarti “anak” dan لَهُ yang berarti
“baginya (ayah). Berarti “anak untuk ayah”. Ini berimplikasi hukum bahwa nasab
anak kepada ayahnya bukan pada ibunya.
Ketiga, dilalah al-dilalah atau
dilalah nash, “dilalah lafadz atas hukum yang dibicarakan
untuk sesuatu yang tidak disebutkan karena dapat dipahami ada kaitannya
berdasarkan pemahaman dari segi bahasa”. Hukum yang terdapat dalam suatu
lafadz secara tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik lafadz itu,
karena diantara keduanya terdapat hubungan. Sering disebut juga dengan mafhum
muwafaqah ataupun qiyas jali. Contoh: فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (Isra’:23).
Berkata ah saja tidak boleh apalagi memukul dan menyakiti dengan cara yang
lain.
Keempat, dilalah iqtidha’ atau
iqtidha’ nash, “penunjukan lafadz kepada sesuatu yang tidak
disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu”. contoh:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (yusuf: 82)
Tidak mungkin bertanya pada kampung
akan tetapi ayat ini memuat ‘penduduk kampung’. Contoh lain “hurrimat ‘alaikum
al-maitatu”, yang diharamkan itu apanya “memakannya”, “menyentuhnya” atau
bagaimana. Sehingga diperjelas dengan “aklul maitati”.
Dilalah yang kedua dalam pandangan
Hanafiyah adalah dilalah ghairu lafdziyah, ada empat macam: pertama, “kelaziman
dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak
disebutkan”. Bila dalam sebuah ayat itu hukumnya tersurat maka dibalik yang
tersurat itu bisa dipahami pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafadz
itu. contoh, An-nisa;11:
وَلِأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
Ibarah nash ini adalah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka
ibu menerima 1/3. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah namun dapat
dipahami bahwa ayah dapat 2/3.
Kedua, “dilalah keadaan diamnya
seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan”. Diam saja cukup
untuk memberi penjelasan akan hukum sesuatu.
Ketiga, “dilalah menganggap
diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindari penipuan”. Tidak
cukup diam untuk menjelaskan sesuatu, jadi perlu untuk berbicara.
Keempat, “dilalah sukut yang
menyatakan ma’dud namun telah biasa dibuang untuk menghindari panjangnya ucapan
kalau disebutkan”. Biasanya muncul dalam penyebutan angka-angka, Misalnya
1945 menjadi 45.
Dalam pandangan ulama syafi’iyah,
dilalah itu ada dua macam juga, yakni dilalah manthuq dan dilalah
mafhum. Dilalah manthuq, “penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan
atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafadz itu”. contoh:
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ (An-nisa:23)
Secara jelas dilarang menikahi anak
tiri dari istri yang sudah digauli.
Dilalah mafhum, “apa yang dipahami dari lafadz bukan menurut yang
dibicarakan”. Ada dua macam yakni, mafhum
muwafaqah seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Dan mafhum mukhalafah
ialah mafhum yang lafadznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan
berbeda dengan hukum yang disebutkan atau hukum yang berlaku berdasarkan mafhum
yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. Contoh Annisa
ayat 25:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ
طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Mafhum mukhalafah ayat ini adalah
bahwa tidak boleh menikah dengan budak yang tidak mukmin.
_______________________
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an Al-Karim
Supiana dan Karman. M. 2002. Ulumul
Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu
Ushul Fikih. Terj. Halimuddin. Jakarta: Rineka Cipta
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman
Ibnu Abu Bakar. Al-Asybah Wa Nadzaahir Fil Furu’. Beirut: Darul Kutub
Al-Islamiyah. tt.
As-Shiddiqi, Hasby. 1976. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Fidaus,. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta;
Penerbit Zikrul Hakim
Syarifudin, Amir. 2009. Ushul
Fiqh. Jilid 2. Cet ke-5. Jakarta: Kencana.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Cet ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hallaq, Wael B. 2001. Sejarah
Teori Hukum Islam. Cet ke-2. Terj. E. Kusnadiningrat dkk. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Al-Yamani, Abi Bakar Al-Ahdal. Taqriirat
Nadzam Faraidul Bahiyyah. Kediri: Pon. Pes. Lirboyo. Tt