Showing posts with label malay. Show all posts
Showing posts with label malay. Show all posts

11 October 2013

Merentasi masa

Dalam Sujud ku Bercerita . .
Dalam Sujud ku Meminta . .
Dalam Sujud ku Mengadu segalanya . .
Dalam Sujud ku Mengalirkan Airmata . .
Dalam Sujud ku Menemui Ketenangan & Kedamaian . .
Dalam Sujud ku Menemui Kebahagiaan yg Hakiki . .
Dengarlah Rintihan Hambamu Ini Ya Allah di Setiap Kali Dalam Sujud ku PadaMU ya Rabbi . .

Dalam ku merentasi masa
Padamu
ingin ku kirim bunga..tapi aku takut ia akan layu..
ingin ku kirim senyum..namun takut tak terbalas..
ingin ku kirim rindu..mungkinkah tersampaikan..?
akhirnya..
aku kirimkan sebuah "doa" untuknya

kadang2 usah dilayan perasaan itu..kelak dirimu yg merana..
biarlah rindu itu berlalu begitu sahaja..
biarlah sayang itu merentasi masa..
kerana masa yg akan mengubati segala2nya..
dan Allah itu Maha Menyembuhkan dan Maha Mengatur segalanya..
setiap perkataanku bagaikan racun berbisa
yang maha melukakannya
biar hati yang berbicara tanpa mengeluarkan suara..
biar hati merana tanpa bertanya
asalkan bahagia berbunga

hawa yang dicipta dari rusuk kiri adam

 ADAM..Jika benar kau kasih & cintakan seorang HAWA itu•.♥•Bawalah dia ke jalan Allah•.♥•Nasihatilah dia•.♥•Perbetulkan kesilapannya•.♥•Jagalah dia dgn baik•.♥•Kasihanilah dia•.♥•Lindungilah dia•.♥•Berilah kasih sayang padanya•.♥•Hargailah dia•.♥•Ucapkan terima kasih atas kelebihannya•.♥•Bersabar dengan kelemahannya•.♥•Terimalah & cintailah kekurangannya•.♥•
♥♥♥Jadilah IMAM terbaik & redhalah padanya ♥♥♥

25 August 2013

 
Ubat rindu ialah solat sunat HAJAT
Ubat cinta ialah solat sunat TAHAJJUD
Ubat dosa ialah solat sunat TAUBAT
Ubat penyakit adalah SELAWAT.

20 June 2013

Qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah



Islam sebagai agama syumul dari seluruh agama samawi diturunkan di negeri Arab sehingga bahasa manusia yang digunakan untuk menyampaikan Kitab pedoman pemeluknya, Alqur’an, pun menggunakan bahasa Arab sebagaiman surat Thaha:113, Fusshilat: 44, Syu’ara:198-199. Dan memang karena Rasul umat Islam berbangsa Arab sehingga mudah untuk menyampaikan maksud-maksud Allah SWT sebagai syari’ (pemilik syari’at. Bagi agama Islam, Kitab ini merupakan sumber utama dari hukum yang diterapkan lalu disusul oleh As-Sunnah. 

Namun, tidak semua pemeluk agama Islam merupakan bangsa Arab yang merupakan native speaker (penutur asli)  namun ada juga yang ‘ajamiyyah (non-Arab) sehingga tidak semua orang Islam bisa memahami bahasa Arab dengan baik. Orang Arab asli pun, meski paham bahasa Arab tetapi tidak semua paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini merupakan problema tersendiri karena kebutuhan untuk memahami agama dengan baik merupakan salah satu hal yang paling mendasar. Dan itu bisa dilakukan terutama apabila seorang muslim memahami Alqur’an dan As-Sunnah, sebagai sumber hukum utama yang berbahasa Arab, dengan baik.

Dan orang yang berusaha memahami Al-qur’an dan As-Sunnah pun menghadapi perbedaan-perbedaan hasil pemahaman antara satu dengan yang lainnya. Maka disinilah perlu adanya kaidah-kaidah bahasa hukum yang standard supaya lebih mudah dan relatif mempersempit peluang perbedaan yang terjadi.


Qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah


Dalam menggali hukum Islam dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kita diberi dua macam qawaid yang sangat penting, yakni qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk plural (jamak) dari kata qa’idah yang dapat diartikan secara bebas sebagai kaidah dalam bahasa Indonesia. Namun dalam hal ini yang dimaksud dengan qa’idah, mengutip pendapat Az-Zarqa yaitu حكم اغلبي ينطبق على معظم جزئياته (hukum yang aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar bagian-bagiannya). (As-Shiddiqi, 1976:442).  

Sebenarnya banyak definisi tentang apa yang dimaksud dengan qawaid namun nampaknya definisi ini yang paling cocok, karena dengan alasan sebagai berikut (Usman, 2002: 4). Pertama, kaidah merupakan hasil ijtihad para ulama, dan saya yakin masing-masing ulama mempunyai kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga konklusi atas hasil ijtihad pun seringkali berbeda. Kedua, perumusan kaidah berasal dari dalil, yang mana dalil itu sendiri bersifat qath’iy dan dzanni. Adapun mana dalil yang qath’iy dan mana yang dzanni itupun para ulama berbeda pendapat. Ketiga, dalam rumusan hukum fiqh, selalu ada yang namanya pengecualian istitsna’, sehingga dalam kondisi pengecualian itu pastilah tidak berlaku kaidah-kaidah yang telah dirumuskan.

Sedangkan kata ushuliyah diambil dari kata “Ashal” yang ditambah dengan ya’ nisbah (ya’ yang berfungsi untuk membangsakan/menjeniskan). Secara bahasa, kata Ashal itu berarti “sesuatu yang dijadikan pijakan dasar atas sesuatu yang lain” (ibid, 5). Adapun ashal secara terminologi dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Ashal berarti Kaidah Kulliyah (peratutan umum).Peraturan umum dalam hal ini adalah melaksanakan ketentuan oleh syara’ kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti memakan mayat, darah, dan daging babi dalam keadaan terpaksa. Sedangkan hukum asal dari pada memakan mayat, darah, dan daging babi itu adalah haram. Allah berfirman :
    حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ …{المائدة : 3}
    Artinya : “Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi… “            (Al-Maidah 3).

Yang mana ayat tersebut dijadikan pijakan sebuah kaidah “semua bangkai itu haram”

  1. Ashal berarti Rajih (terkuat).
    Maksud rajih adalah asal dari pada perkataan ialah hakikatnya, yakni yang kuat atau yang rajih dalam menetapkat, pengertian sesuatu perkataan yang paling kuat adalah makna hakikatnya. “Al-Ashlu fil kalami all-haqiqah”.
  2. Ashal berarti mustashhab yaitu sebuah kaidah fiqih:
    الاصل بقاء ماكان على ماكان
    ” Tetap apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
    Maksud dari kaidah di atas adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada. Seperti saat kita ragu apakah masih sah wudhu kita ataukah sudah batal, maka yang diambil bahwa wudhu kita masih sah.
  3. Ashal berarti Maqis ‘alaih (tempat mengkiaskan).
    Seperti keharaman mengambil riba pada padi didasarkan pada adanya keharaman mengambil riba pada gandum. Hukum asal dari pengharaman mengambil riba pada padi diqiyaskan kepada dalil yang melarang pengharaman riba pada gandum, berdasarkan ‘illat bahwa gandum dan padi merupakan makanan pokok bagi manusia. Gandum adalah ashal dan padi adalah furu’.
  4. Ashal berarti dalil (alasan).
    Maksudnya ashal hukum sesuatu karena dalilnya. Allah berfirman :
    وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ … {البقرة : 43}
    “Dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat…” (Al-Baqarah: 43).
    Dalil di atas menunjukkan perintah tentang menunaikan sholat dan zakat, sedangkan tentang pengertian bahwa shalat dan zakat itu diwajibkan diambil dari kaidah yaitu :
    الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل غيره إلا بقر ينة
    “Ashal dari pada amar (perintah) itu adalah wajib dan tidak menunjukkan arti selain wajib kecuali terdapat qarinahnya”.

Adapun yang dimaksud dengan qawaid ushuliyah ini berarti kaidah-kaidah yang dipakai para ulama’ untuk menggali hukum-hukum yang ada dalam Alqur’an dan As-sunnah yang mana kaidah-kaidah itu sebenarnya berdasarkan makna dan tujuan yang telah diungkapkan oleh para ahli bahasa arab (pakar linguistik Arab) (Syarifudin, 2009: 2; Firdaus, 2004: 130; Usman, 2002: 6; Al-Hallaq, 2001: 63). Sehingga dapat dikatakan bahwa qawaid ushuliyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat lughawiyah (berjenis kaidah bahasa).

Sedangkan qawaid fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah yang mana semua permasalahan fiqh itu dikembalikan kepada kaidah-kaidah tersebut (As-Suyuthi, tt: 5). Qawaid fiqhiyyah ini pada dasarnya berjumlah lima yakni (Sayyid Abi Bakar Al-Ahdal Alyamani dalam Nadzam Faraidul Bahiyyah):

a.    Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan.
الأمور بمقاصدها “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5}
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh :
 Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah maka kita akan mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta untuk zakat apabila tidak dibarengi
b.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan.
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا  وَجَدَ  أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ  شَيْئًا  فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ  مِنْهُ  شَيْءٌ  أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ  مِنَ  الْمَسْجِدِ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا {روه مسلم}
Artinya : “Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.”

Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum, sedang pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas. Dan hal itu dapat berubah jika yang utang dapat rnemberikan bukti – bukti baru atas pelunasan utangnya.
c.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan.
المشقة تجلب التيسير “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ {روه البخارى}
” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “

Firman Allah SWT yang berarti : “Seorang hamba tidak dibebani sesuatu kecuali apa yang sanggup untuk ditanggung”.
d.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan.
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع الامر ضاق
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”. Contoh lain, Misalnya seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
e.    Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan.
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”.
Contohnya : hukum syari’ah menetapkan  hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan.

Dalam Qawaid Ushuliyah lughawiyah terdapat tiga metode (Usman, 2002: 8 – 13), yait: pertama, metode mutakallimin, metode ini juga disebut juga dengan metode syafi’iyyah yang dikembangkan oleh Asy’ariyah dan Imam Syafi’i.  Mereka menggunakan metode ini dengan cara memproduksi kaidah-kaidah serta mengeluarkan qonun-qonun ushuliyah dari lafal-lafal serta uslub-uslub bahasa Arab. Kedua, metode ahnaf, yang dicetuskan oleh Imam Hanafi dengan jalan mengadakan induksi (istiqra’) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi darinya. Ketiga, metode campuran, yakni penggabungan antara metode pertama dan metode kedua.

Sedangkan perbedaan antara metode mutakallimin dan metode ahnaf adalah sebagai berikut:

  1. Metode Mutakallimin
    1. Metodenya hanya dari cara istinbathnya sendiri
    2. Kaidahnya dari pemahaman makna lughawi dan uslub-uslubnya
    3. Disesuaikan dengan hukum logika
    4. Terdapat relevansi dengan kaidah ilmu kalam
    5. Membagi kejelasan dilalah dengan nash dan dhohir
    6. Membagi pemahaman dilalah dengan mujmal dan mutasayabih
    7. Membagi petunjuk hukum dengan manthuq dan mafhum
    8. Mengambil mafhum mukhalafah sebagai hujjah
    9. Dilalah ‘am yang telah disebutkan satuannya dinyatakan sebagai dalil dzanni
    10. Pemahaman makna muthlaq diikutkan pada makna muqayyad
    11. Membuang hadits mursal sebagai hujjah bila diperlukan
    12. Menerima hadits ahad apabila sanadnya shahih.
  2. Metode Ahnaf
    1. Kaidah yang disusun hanya untuk menguatkan mazhabnya.
    2. Kaidah yang disusun bukan merupakan penentu terhadap hukum far’iyah
    3. Kaidah ushuliyah hanya diambil dari pendapat imamnya
    4. Tidak menerima kaidah-kaidah ilmu kalam
    5. Kaidah yang tersusun tidak memperhatikan pemahaman makna lughawi melainkan meriwayatkan yang dinukil dari permasalahan far’iyah dari imam madzhabnya
    6. Membagi kejelasan dilalah dengan dzohir, nash, mufassar, muhkam
    7. Membagi pemahaman makna dilalah dengan khafi, musykil, mujmal, mutasayabih
    8. Membagi petunjuk hukum dengan dilalah ‘ibarah, dilalah isyarah, dilalah nash, dan dilalah iqtidlo’
    9. Tidak menggunakan mafhum mukhalafah sebagai nash syar’iyyah
    10. Dilalah ‘am yang telah disebutkan satuan-satuannya dianggap qath’i dilalah
    11. Tidak membawa makna muthlaq pada muqayyad.
    12. Menggunakan hadits mursal bila diperlukan dan menolak hadits ahad.

Kata yang Jelas dan Tak Jelas Penunjukannya

Kata atau lafadz yang jelas penunjukannya adalah lafadz yang terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu maka hukum dapat ditetapkan tanpa ada penjelasan lagi. Sedangkan lafadz yang tak jelas penunjukannya adalah lafadz yang maknanya dapat dipahami dengan bantuan dari luar lafadz tersebut (Syarifudin, 2009b: 3).

Lafadz yang terang artinya mempunyai empat tingkat kekuatan dari segi kejelasannya, yakni jelas (Zhahir), lebih jelas (Nash), sangat jelas (mufassar), dan paling jelas (muhkam).  Lafadz zhahir menurut Abdul Wahab Khallaf adalah “lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung dengan pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan ditakwilkan”. Contoh

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (Al-baqarah, 275)

dengan jelas sekali ayat ini menyatakan bahwa jual beli itu halal dan riba itu diharamkan. Namun maksud dari ayat itu tidak sesederhana itu, ayat ini juga dimaksudkan untuk membantah kaum munafik yang menyamakan riba dengan itu sama hukumnya dengan jual beli.

Lafadz dzahir itu disamping mengandung arti menurut dzahirnya namun juga dimaksudkan untuk adanya kemungkinan merujuk pada maksud lain.

Selanjutnya lafadz nash, pengertian nash disini bukanlah dalil syara’ (Al-qur’an dan As-Sunnah) ataupun qaul imam mujtahid akan tetapi kedudukan lafadz dari segi kejelasannya. Nash diartikan oleh ulama Hanafiyah dengan “lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan ditakwilkan”. Lafadz nash itu lebih jelas daripada dzahir karena ada qarinah yang datang dari lafadz pembicara, jika tanpa qarinah tersebut maka lafadz itu tidak akan jelas. Contoh:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (al-Hasyr, 7)

Ayat ini secara nash merupakan petunjuk untuk mengikuti Rasul dalam hal pembagian harta rampasan baik yang dibolehkan maupun yang tidak. Karena untuk maksud inilah ayat tersebut diturunkan menurut “asalnya” yang dapat dipahami dari ungkapan ayat itu sendiri. Namun dari ayat ini pula bisa dipahami arti yang dzahir yakni wajib mengerjakan apa yang diperintah Rasul dan mencegah apa yang dijauhi Rasul.

Kemudian lafadz mufassar, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan  mufassar adalah “lafadz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci, begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut”. Penunjukan lafadz tersebut pada makna jelas sekali, tidak memerlukan qarinah dari luar dan karena jelas dan terinci maknanya, tidak akan membuka kemungkinan takwil. Contoh:

   وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (An-Nur:4).

Bilangan dera dalam ayat ini jelas sekali sehingga tidak ada kemungkinan dipahami lebih atau kurang dari ayat tersebut.

Jenis terakhir dari kata yang jelas adalah lafadz muhkam, yakni “suatu lafadz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafadznya dengan penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan adanya pembatalan, penggantian maupun ta’wil”. Contoh  kata وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا  pada ayat diatas kata selamanya ini menunjukkan bahwa kesaksiannya itu tidak diterima untuk selamanya, dalam arti tidak dicabut.

Bagian selanjutnya adalah lafadz yang tak terang penunjukannya, ada empat jenis juga, yaitu; tidak terang (khafi), lebih tidak terang (musykil), sangat tidak terang (mujmal), dan paling tidak terang (mutasayabih).

Lafadz khafi, “suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz”. Contoh:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا (Al-maidah:38)

Kata “pencuri” dalam ayat tersebut sebenarnya cukup jelas, yaitu “orang yang mengambil harta yang dinilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi” dan penerapan hukumnya jelas. Namun lafadz tersebut mempunyai satuan (afrad) yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan. Dan semuanya mempunyai sifat yang tidak sama. Apakah kemudian hukum akan diterapkan sama? Disinilah timbul kesamaran tersebut.

Lafadz Musykil, “suatu lafadz yang samar maknanya karena lafadz itu sendiri”. Contoh: وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (albaqarah-228)

Kata قُرُوء  disini mengandung dua arti yakni suci dan haid sehingga untuk menjelaskannya pun perlu qarinah dari luar. Imam Hanafi mengartikannya dengan “haid” sedangkan Imam Syafi’i mengartikannya dengan “suci”.

Lafadz mujmal, “suatu lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum terkandung didalamnya”.”makna kata itu bukanlah yang dikehendaki”(Moqsith Ghozali)[1] Contoh pemindahan lafal dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’, seperti lafal shalat, zakat, shoum, haji tidak akan dipahami apabila tidak ada sunnah Nabi SAW yang menjelaskannya.

Lafadz mutasyabih, “lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya”. Ada yang mengatakan ayat mutasyabih bisa ditakwil. Contoh: وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (Ar-rahman 27).

Dilalah (penunjukan) atas hukum

Syarifudin (2009b: 131) menjelaskan bahwa secara sederhana, dilalah dapat diartikan dengan “memahami sesuatu atas sesuatu” kata sesuatu yang pertama disebut dengan madlul alias hukum, sedangkan sesuatu yang kedua disebut dengan dalil. Untuk mengetahui sesuatu tidaklah mesti tahu sesuatu itu secara langsung namun cukup menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut juga dengan berpikir secara dilalah.

Dalam pandangan ulama Hanafiyah, dilalah itu ada dua jenis, yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah. Dilalah lafdziyah sendiri terbagi menjadi empat macam, yaitu: pertama, dilalah ibarah atau disebut juga dengan ibarat nash, yakni, “makna yang bisa dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam bentuk nash ataupun dzahir”, atau makna tekstual. Makna kata yang dimaksud langsung dapat dipahami dari lafadz yang disebutkan apakah dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zhahir). Pemahamannya menurut apa adanya dijelaskan dalam lafadz itu. contoh:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)

Ayat ini menurut ibarat nash atau yang tersurat adalah bolehnya menikahi perempuan sampai empat orang bila terpenuhi syarat adil. Lafadz ayat ini menurut asalnya memang untuk menunjukkan hal tersebut. disamping itu secara dzahir-nya ayat ini menunjukkan bahwa perkawinan itu mubah.

Kedua, dilalah isyarah atau isyarah nash, “apa yang ditunjuk oleh lafadz tidak melalui ibaratnya”. Contoh: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (Al-baqarah:233). Ibarat nash-nya adalah “kewajiban mencari nafkah oleh ayah”, Dalam ayat ini, kata الْمَوْلُودِ لَهُ merupakan pengganti kata “Al-Abu” Ayah. Meskipun dua kata itu sama artinya kenapa Allah lebih memilih kata yang pertama? Lafadz yang dimaksud dengan kata ayah disini terdiri dari rangkaian dua kata yakni الْمَوْلُود yang berarti “anak” dan لَهُ yang berarti “baginya (ayah). Berarti “anak untuk ayah”. Ini berimplikasi hukum bahwa nasab anak kepada ayahnya bukan pada ibunya.

Ketiga, dilalah al-dilalah atau dilalah nash, “dilalah lafadz atas hukum yang dibicarakan untuk sesuatu yang tidak disebutkan karena dapat dipahami ada kaitannya berdasarkan pemahaman dari segi bahasa”. Hukum yang terdapat dalam suatu lafadz secara tersurat, berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik lafadz itu, karena diantara keduanya terdapat hubungan. Sering disebut juga dengan mafhum muwafaqah ataupun qiyas jali. Contoh:  فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا  (Isra’:23). Berkata ah saja tidak boleh apalagi memukul dan menyakiti dengan cara yang lain.

Keempat, dilalah iqtidha’ atau iqtidha’ nash, “penunjukan lafadz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu”. contoh: وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (yusuf: 82)

Tidak mungkin bertanya pada kampung akan tetapi ayat ini memuat ‘penduduk kampung’. Contoh lain “hurrimat ‘alaikum al-maitatu”, yang diharamkan itu apanya “memakannya”, “menyentuhnya” atau bagaimana. Sehingga diperjelas dengan “aklul maitati”.

Dilalah yang kedua dalam pandangan Hanafiyah adalah dilalah ghairu lafdziyah, ada empat macam: pertama, “kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan”. Bila dalam sebuah ayat itu hukumnya tersurat maka dibalik yang tersurat itu bisa dipahami pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafadz itu. contoh, An-nisa;11:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ

Ibarah nash ini adalah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima 1/3. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah namun dapat dipahami bahwa ayah dapat 2/3.

Kedua, “dilalah keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan”. Diam saja cukup untuk memberi penjelasan akan hukum sesuatu.

Ketiga, “dilalah menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindari penipuan”. Tidak cukup diam untuk menjelaskan sesuatu, jadi perlu untuk berbicara.

Keempat, “dilalah sukut yang menyatakan ma’dud namun telah biasa dibuang untuk menghindari panjangnya ucapan kalau disebutkan”. Biasanya muncul dalam penyebutan angka-angka, Misalnya 1945 menjadi 45.

Dalam pandangan ulama syafi’iyah, dilalah itu ada dua macam juga, yakni dilalah manthuq dan dilalah mafhum. Dilalah manthuq, “penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafadz itu”. contoh:

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ (An-nisa:23)

Secara jelas dilarang menikahi anak tiri dari istri yang sudah digauli.

Dilalah mafhum, “apa yang dipahami dari lafadz bukan menurut yang dibicarakan”. Ada dua macam yakni, mafhum muwafaqah seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Dan mafhum mukhalafah ialah mafhum yang lafadznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan atau hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. Contoh Annisa ayat 25:

 وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

Mafhum mukhalafah ayat ini adalah bahwa tidak boleh menikah dengan budak yang tidak mukmin.
_______________________
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an Al-Karim
Supiana dan Karman. M. 2002. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Terj. Halimuddin. Jakarta: Rineka Cipta
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Ibnu Abu Bakar. Al-Asybah Wa Nadzaahir Fil Furu’. Beirut: Darul Kutub Al-Islamiyah. tt.
As-Shiddiqi, Hasby. 1976. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Fidaus,. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta; Penerbit Zikrul Hakim
Syarifudin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jilid 2. Cet ke-5. Jakarta: Kencana.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Cet ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hallaq, Wael B. 2001. Sejarah Teori Hukum Islam. Cet ke-2. Terj. E. Kusnadiningrat dkk. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Yamani, Abi Bakar Al-Ahdal. Taqriirat Nadzam Faraidul Bahiyyah. Kediri: Pon. Pes. Lirboyo. Tt

30 May 2013

Siapa pengasas Syiah?

Tahukah anda, bahawa syiah diasaskan oleh yahudi.

Abdulah bin Saba' adalah seorang pendita Yahudi dari Yaman. Berpura-pura masuk Islam (secara nifak) di zaman Khalifah 'Uthman bin Affanradiallahu 'anhu. Dialah pereka ajaran Syiah yang ekstrem yang menjadi punca bersemaraknya perpecahan dalam kalangan masyarakat Islam terutama dalam kelompok Syiah itu sendiri. Abdullah bin Saba' pernah berkata yang ditujukan kepada Khalifah Ali radiallahu 'anhu: "Engkaulah Allah".[1]

Maka Ali mengisytiharkan bunuh terhadap Abdullah bin Saba' tetapi ditegah oleh Ibn Abbas. Penyokong Ali membuangnya ke Madain (Ibu Negeri Iran lama). Abdullah bin Saba' orang pertama mengkafirkan Abu Bakar, 'Umar dan 'Uthman dan tidak mengiktiraf kekhalifahan kecuali hanya dari kalangan Ahli Bait".[2]

Seorang ulama Syiah Muhammad Husin al-Zain pernah memperkatakan tentang Abdullah bin Saba': "Abdullah bin Saba' mengeluarkan qaul (yang sesat), mengajarkan fahaman yang ghalu (keterlaluan)..... dan perbuatannya sangat melampaui batas".[3]

Saad bin Abdullah al-Qumy seorang ulama, pemimpin serta ahli hukum Syiah yang lahir pada 229H mengakui wujudnya Abdullah bin Saba'. Beliau menyebut beberapa nama orang yang berkonspirasi yang digelar sebagai Saba'iyah. Menurut beliau lagi bahawa komplot Saba'iyah adalah firqah pertama dalam Islam yang mengeluarkan perkatan-perkataan yang ghalu (keterlaluan). Saad bin Abdullah al-Qumy ulama besar Syiah yang masyhur ini telah memastikan bahawa Abdullah bin Saba' adalah orang yang mengeluarkan perkataan dan menampakkan dirinya mengecam dan menentang Abu Bakar, 'Umar dan 'Uthman radiallahu anhum serta tidak mengiktiraf kekhalifahan mereka.[4]

Pegangan Syiah Imamiyah yang ada sekarang adalah berasaskan ideologi dan doktrin sesat Abdullah bin Saba'. Fahaman ini disampaikan (dipelihara) dalam bentuk riwayat hadis yang dinasabkan kepada keluarga Nabi (Ahli Bait) dengan penuh kebohongan tetapi diterima oleh mereka yang jahil.[5]

Jadi kalau ada mana-mana syiah yang katakan pada anda bahawa mereka ini bermazhabkan ahlul bait, mereka tu memang PENIPU dan PENDUSTA YANG BESAR...

[1] . Lihat: Rijal al-Kusyi. Hlm. 106-108. (Kitab ini "Rijal al-Kusyi") adalah kitab tertua menjadi rujukan dan pegangan golongan Syiah.
[2] . Lihat: Usul Mazhabi asy-Syiah al-Imamiyah al-Ithna 'Asyariah. (1/74).
[3] . Lihat: الشيعة فى التاريخ Hlm. 213. Muhammad Husin al-Zain.
[4] . Lihat: Usul Mazhabi asy-Syiah al-Imamiyah al-Ithna 'Asariyah. (1/74).
[5] . Lihat: Usul Mazhabi asy-Syiah al-Imamiyah al-Ithan 'Asariyah. (1/77).

19 May 2013

Kadar nafkah suami kepada isteri

  • Apakah maksud terperinci nafkah suami kepada isterinya? 
  • Adakah kerana dia telah membeli barangan keperluan seperti makanan sudah cukup dinamakan nafkah? Adakah salah jika isteri meminta wang kepada suaminya untuk dirinya sendiri sedangkan suaminya tidak pernah memberi wang,asalannya dia telah membeli barangan keperluan semua?
  • Adakah wajib suami memberi keluarga mertua sedikit sumbangan seperti wang ringgit atau sebagainya?
  • Dan apakah hukumnya jikalau keperluan yang dibeli oleh si suami menjadi ungkitannya semula?

Wajib suami memberi nafkah[1] kepada isteri mengikut kemampuannya dan juga dengan meraikan keperluan isteri. Firman Allah (bermaksud); "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan sesiapa yang disempitkan rezekinya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar yang mampu); Allah tidak memberati seseorang melainkan (sekadar kemampuan) yang diberikan Allah kepadanya. (Orang-orang yang dalam kesempitan hendaklah ingat bahawa) Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunya kesusahan" (Surah at-Thalaq, ayat 7).

Di dalam hadis yang menceritakan Hindun (isteri Abu Sufyan) yang mengadu kepada Rasulullah tentang suaminya (Abu Sufyan) yang kedekut (tidak memberi belanja yang mencukupi untuk isteri dan anaknya), Rasulullah berkata kepada Hindun; "Kamu ambillah dari hartanya kadar yang mencukupi untuk kamu dan anak kamu mengikut kebiasaannya"[2] (HR al-Jamaah kecuali Imam at-Tirmizi. Lihat hadis ini dalam Nailul-Autar, Kitab an-Nafaqaat, bab al-Mar,ah Tunfiqu Min Mali az-Zauji min Ghair 'ilmihi...). Hadis ini menunjukkan bahawa keperluan isteri juga diambil kira dalam kewajipan memberi nafkah kerana Nabi menyebutkan "ambillah kadar yang mencukupi". Kecualilah jika suami miskin, maka ia dituntut memberi nafkah mengikut kemampuannya dan isteri hendaklah redha dengan keadaan suami dan berpada dengan apa yang diberikan.

Ada ulamak menetapkan kadar tetap harian bagi nafkah yang wajib disempurnakan oleh suami untuk isterinya. Antaranya Imam Syafiie yang menetapkan; jika suami kaya; ia hendaklah memberikan 2 cupak sehari untuk makanan isterinya, suami sederhana; 1 1/2 cupak dan suami miskin; 1 cupak. Adapun jumhur (majoriti) ulamak, mereka tidaklah menentukan kadar tetap, akan tetapi dirujuk kepada kemampuan suami dan juga keperluan isteri.[3] Kemampuan suami boleh berubah, begitu juga keperluan isteri. Pada ketika suami melihat keadaanya lebih senang, ia hendaklah melebihkan sedikit belanjanya untuk isteri dan isteri pula berhak menuntut peruntukan yang lebih. Begitu juga jika keperluan isteri bertambah kerana sesuatu sebab, pertambahan itu juga perlu berada dalam penilaian suami jika ia mampu meraikannya. Di dalam al-Quran, Allah amat menekan para suami agar melayani isteri dengan baik untuk mengekalkan keharmonian rumah tangga. Firman Allah (bermaksud); "Dan bergaullah kamu dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik" (Surah an-Nisa', ayat 19).

Mungkin kita boleh meletakkan tahap-tahap bagi perbelanjaan dengan merujuk kepada tahap-tahap maslahah manusia yang diputuskan ulamak iaitu tiga peringkat;
Pertama; (tahap keperluan paling atas); iaitu keperluan daruriyat.
Kedua; keperluan hajiyat.
Ketiga; keperluan tahsiniyat.

Keperluan daruriyat ialah yang boleh menyebabkan kerosakan hidup jika tidak diberikan. Ini merangkumi makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang asas. termasuk juga keperluan ilmu khususnya ilmu agama kerana tanpanya akan rosak kehidupan di akhirat. Keperluan hajiyat ialah yang bawah dari daruriyat, iaitu yang jika tidak ada tidaklah membawa kerosakan hidup, tetapi membawa kepada kehidupan yang susah, sukar dan menderita. Contohnya; perabot-perabot rumah yang asas, peralatan dapur, pakaian yang lebih sedikit dari keperluan daruriyat tadi dan sebagainya. keperluan Tahsiniyat ialah yang jika tidak ada tidaklah membawa kerosakan dan tidak juga membawa kesusahan hidup, cuma kewujudannya boleh menambah keselesaan hidup.

Balik kepada soalan yang ditanya, jika suami puan miskin, puan hendaklah berpada dengan apa yang diberinya untuk keperluan pertama (daruriyat) atau keperluan kedua (hajiyat). Jika suami puan berada, bolehlah puan meminta lebih dari itu. Suami pula hendaklah meraikan isteri jika ia mampu demi mengekalkan keharmonian rumah tangga. Di dalam hadis, Rasulullah bersabda (bermaksud); "Allah mengasihi seorang lelaki yang bertolak ansur bila menjual, bila membeli dan bila menuntut (hutangnya)" (HR Imam al-Bukhari dari Jabir). Dalam riwayat lain; "...bertolak ansur ketika membayar hutang dan menuntut hutan" (HR Imam at-Thabrani dari Jabir). Walaupu hadis ini menyentuh jual-beli dan hutang-piutang, tetapi ruh tolak ansur yang disarankan Nabi tidak ada salahnya untuk kita amalkan di mana-mana sahaja dalam kehidupan terutamanya dalam perkongsian hidup suami isteri. Maksudnya, suami bertolak ansur dalam melayani permintaan isteri dan isteri pula bertolak ansur dalam menuntut haknya.

Mengenai pemberian kepada mertua, tidaklah wajib suami memberi nafkah atau belanja untuk mertua sekalipun mertua miskin, kecualilah atas ihsan darinya sahaja. Jika ia mampu, eloklah ia memberinya kerana itu juga boleh mengukuhkan lagi kasih-sayang dengan isteri. Mertua yang miskin dan tidak mampu berkerja, ia wajib dinafkahi oleh keluarganya sendiri (iaitu bapa atau anak-anaknya), bukan menantunya. Jika mertua terpaksa bergantung hidup dengan anak perempuannya yang telah berkahwin, suami hendaklah memberi izin kepada isteri untuk menziarahi dan berkhidmat kepada ibu-bapanya (tanpa menjejaskan hak suami) dan begitu juga untuk menafkahi mereka. Jika ia tidak memberi izin tanpa sebab yang munasabah, ia berdosa dan jika isteri melanggarnya sebahagian ulamak berpandangan isteri tidak dikira nusyuz ketika itu. Adalah harus isteri memberi belanja dari duitnya sendiri kepada ibu-bapanya sekalipun tanpa izin suami, namun eloklah ia meminta izin sebagai tanda menghormati suami. Jika suami menghalang tanpa sebab, tidak dikira nusyuz jika isteri melanggarinya.

Mengenai suami mengungkit pemberiannya kepada isteri, jika dengan niat yang baik seperti untuk memperingatkan isteri supaya taat kepadanya kerana ia telah pun melaksanakan tanggungjawabnya sebagai suami (iaitu memberi nafkah mengikut yang termampu) supaya isteri membalasnya dengan melaksanakan tanggungjawabnya pula (iaitu taat dan melayani suami), ungkitan sebegitu tidaklah dilarang, malah ada ketikanya perlu dilakukan. Adapun jika ungkitan semata-mata untuk menyakiti hati isteri, tidaklah harus dilakukan kerana ia menyalahi pergaulan yang yang disuruh oleh Allah dalam ayat tadi.

Wallahu a'lam.

Nota;

[1] Memberi nafkah bermaksud mencukupkan keperluan hidup merangkumi makanan, pakaian dan keperluan-keperluan lain (at-Tahwir wa an-Tanwir).
[2] Lafaz bahasa Arabnya ialah "Bil-Ma'ruf", al-makruf bermaksud; mengikut kebiasaan masyarakat setempat iaitu berdasarkan pengamalan yang diterima oleh orang ramai di sesuatu tempat selama ia tidak bercanggah dengan ketetapan Syariat (at-Tahwir wa an-Tanwir).
[3] Sebenarnya terdapat tiga pandangan ulamak dalam menetapkan ukuran yang hendak dipakai bagi menentukan kadar nafkah yang sewajarnya bagi isteri;
A) Pandangan pertama; hendaklah dilihat kepada keadaan suami (kaya, miskin atau sederhana). Pandangan ini diutarakan oleh Imam Syafiie dengan berdalilkan ayat di atas.
Pandangan kedua; dengan melihat keperluan isteri. Pandangan ini diutarakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dengan berdalilkan hadis Hindun di atas.
C) Pandangan ketiga; dengan mengambil kira kedua-dua sekali iaitu keadaan suami dan juga keperluan isteri. Pandangan ini diutarakan oleh Imam Ahmad berdalilkan ayat dan juga hadis di atas iaitu dengan memadankan kedua-duanya. Pandangan inilah yang kita pilih di atas kerana ia meraikan kedua-dua dalil di atas.
(al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah, juzuk 8, kitab an-Nafaqaat).

Rujukan;

1. Tafsir al-Qurtubi, Surah at-Talaq, ayat 7.
2. At-Tahwir wa at-Tanwir, Syeikh Muhammad at-Tahir ibnu Asyur, Surah at-Talaq, ayat 7.
3. Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah, juzuk 8, kitab an-Nafaqaat.
4. Nailul-Autar, Kitab an-Nafaqaat, bab al-Mar,ah Tunfiqu Min Mali az-Zauji min Ghair 'ilmihi..

Berkenalan dengan Jin Qorin kembaran dari diri kita


Dari Abdullah bin Mas’ud berkata,”Tidaklah satupun dari kalian kecuali ia telah di beri Qorin dari jin dan Qorin dari malaikat. Para sahabat bertanya,”Begitu juga kepadamu,Ya Rosulullah?” Beliau bersabda,”Kepadaku juga,hanya saja Alloh telah menolongku untuk menghadapinya,dan tidaklah ia (Qorin) menyuruhku kecuali kepada kebenaran” (HR.Ahmad)

            Bila kita mengalami pergolakan batin saat menghadapi masalah,yang dituntut untuk segera menentukan sikap,atau saat menghadapi suatu pilihan yang membuat pikiran bimbang,tiba-tiba terasa dalam diri kita seperti ada makhluk yang membisikkan sesuatu untuk memilih pilihan tertentu, atau saat azan berkumandang, muncul dalam benak kita untuk segera meninggalkan pekerjaan lalu menunaikan sholat, tapi pada saat yang sama sakan ada yang membisikkan ,”Nanti saja…!selesaikan pekerjaan dulu”

Dan bisikan itu ternyata muncul dari sosok makhluk yang berbeda yang senantiasa menyertai kehidupan kita, yaitu makhluk yang bernama malaikat dan jin.

 DALIL KEBENARAN QORIN PADA MANUSIA

Setiap kita pasti ditemani teman yang akrab dan dekat yang disebut Qorin,satu dari malaikat dan satu dari golongan jin atau syaitan.
Sebagai mana yang ditegaskan Rosululloh saw dalam riwayat Ahmad diatas.

Yang dimaksud dengan pernyataan Rosululloh saw pada bagian akhir dari hadits diatas adalah Qorin beliau dari golongan jin atau syaitan.

Alloh swt telah memberi perlakuan khusus kepada beliau dalm menghadapi sepak terjang Qorin jin yang dimilikinya,sehingga jin tersebut masuk Islam dan tidak mempengaruhi beliau kecuali kepada kepada kebaikan dan kebenaran.

Dan hadits tersebut lebih merupakan peringatan keras akan bahaya fitnah (gangguan ) Qorin dan was-wasnya serta penyesatan yang dilakukannya.
Rosululloh saw memberi tahukan hal itu agar kiat lebih waspada dan melakukan pembentengan dari kejahatannya.

Dalam masalah ini ada ulama yang berpendapat bahwa peluang masuknya jin Qorin ke Islam bukan hanya berlaku untuk jin Qorin Rosululloh saw pribadi, Setiap kita bekesempatan untuk mengislamkan jin Qorin sebagaiman yang dialami Rosululloh.

(DR.Umar Sulaiman al-Asyiqar dalam bukunya”Alamul JinniwaSyayatin”)
Tetapi pendapat tersebut dibantah tegas oleh Syaikh Wahid Abdus Salam Bali dalam bukunya “Wiqayatul Insan minal Jinni was Syaithan :39-40”

 Beliau beralasan bahwa terlihat jelas dalam susunan redaksi beberapa hadits yang menjelaskan masuk Islamnya Qorin jin mengiringi Rosulullah sifatnya khusus, hanya berlaku kepada jin Qorin Rosulullah saw. Kenyataannya tidak ada satu dalilpun yang menyatakan bahwa Islamnya jin Qorin itu juga berlaku pada selain Qorin jin Rosulullah saw.

Alasan kedua “Tidak ada satu riwayatpun yang menjelaskan masuknya jin Qorin yang dimiliki Umar bin Khatthab. Padahal kita tahu,dikarenakan iman Umar yang begitu kokoh  Syaitan menjadi segan dan takut kepada sosokUmar. Dan Rosulullah saw tak pernah mejelaskan kepada para sahabatnya bahwa jin Qorin milik Umar telah masuk Islam sebagaimana milik Beliau.”

Alasan ketiga, “Kalau setiap orang bias mengislamkan jin Qorin masing-masing, maka hilanglah hikmah dan fungsi adanya ujian Alloh pada diri manusia. Padahal adanya pengaruh buruk dari jin Qorin merupakan sarana ujian akan keteguhan dan kekokohan iman seorang mu’min” (Kitab Al Waqayah : 39-40)

 BERAPA JUMLAH JIN QORIN KITA

Qorin jin atau syaitan dalam tema ini mempunyai arti khusus dan umum, arti khusus yaitu Qorin jin yang disertakan Allah kepada kita sejak kita dilahirkan , sebagaimana yang telah dijelaskan Rosulullah saw, sedang arti umumnya yaitu jin atau syaitan lain yang menjadi teman kita dalam sepanjang perjalanan hidup kita.

Artinya sejak kita lahir ada jin yang selalu mengikuti kita dan melancarkan pengaruh-pengaruh jahatnya, itulah yang dinamakan istilah khusus yaitu Qorin. Tapi ada juga Qorin-Qorin lain yang bersifat umum. Yaitu syaitan-syaitan yang hadir dalam hidup orang-orang yang jauh dari petunjuk Alloh dan lalai menjalankan perintah-Nya.
Qorin yang pertama akan bertambah banyak dengan semakin banyaknya syaitan yang menjadi teman hidupnya.

            Alloh swt berfirman,”Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang maha pemurah (Al-Qur’an) Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benat dan mereka menyangka bahwa mereka medapat petunjuk. Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu dating kepada Kami (di hari kiamat) dia berkata,”Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara masrik dan maghrib, maka syaitan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia)”. (QS.Az Zukhruf : 36-38)

            Imam At Tabrani berkata. Yang dimaksud dengan ayat 36 dalam QS Az ukhruf adalah,”Barang siapa yang berpaling dari peringatan Alloh(dzikrulloh) dan tidak takut akan azab-Nya, maka Alloh akan memberinya syaitan, dan syaitan itu akan menjadi teman hidupnya yang selalu berusaha untuk menjerumuskannya. (Tafsir At Thabrani : 25/72).
Dan di ayat lain, Alloh menyatakan,”Barang siapa yang mengambil syatian itu menjadi temannya, maka syatian itu adalah teman yang seburuk-buruknya.”(QS. An Nisa’ : 38).

TUGAS UTAMA QORIN KITA

            Tugas pokok baik itu Qorin dari golongan jin atau syatan maupun dari golongan malaikat, bertugas sebagai pembisik, Qorin dar jin membisikkan untuk berbuat jahat, sedangkan Qorin dari malaikat membisiki manusia untuk berbuat kebaikan dan ketaatan.
            Abdullah bin Mas’ud berkata, Rosulullah saw bersabda, Sesungguhnya syaitan itu melakukan bisikan sebagaimana malaikat juga melakukan bisikan, adapun bisikan syaitan, intinya mengajak untuk berbuat keburukan dan mendustakan yang haq. Sedangkan bisikan malaikat, intinya mengajak untuk berbuat kebaikan dan membenarkan yang haq. Barang siapa menjumpai pada dirinya (ajaran kebenaran), hendaklah ia memuji Alloh swt (bersyukur), dan barang siapa menjumpai sebaliknya (bisikan kejahatan), hendaklah ia berlindung kepada Alloh dari (godaan) syaitan. Lalu beliau membaca ayat,”Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan ….” (QS Al Baqoroh : 268) (HR.Tirmidzi, 2988, An NAsa’i, no. 11051, dan Ibnu Hibbah, no. 998).

            Oleh karena itu kita harus ekstra waspada akan hadirnya bisikan ata was-was Qorin jin, sebagaimana kita juga tidak boleh lengah akan was-was atau bisikan jahat yang muncul dari syaitan yang berbentu manusia. Kedua bisikan itu sama bahayanya dan sama-sama membikin kita celaka,celaka didunia ataupun di akhirat. Sehingga Alloh swt mengingatkan agar kita banyak memohon perlindungan kepada-Nya,dari bisikan jahat syatan yang berbentuk jin atau manusia. Seperti dalam firman-Nya dalam QS. An Naas : 1-6.

            Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitabnya saat menafsrkan QS An Naas, bahwa yang dimaksud dengan “al waswasul khonnas” dalam surat tersebut adalah syaitan yang disertakan ke manusia. Karena tidak seorangpun dari keturunan nabi Adam kecuali ia memiliki Qorin, Qorin itulah yang menghiasikeburukan dan kekejian, dan tidak seorangpun yang selamat darinya kecuali mereka yang dilindungi oleh Alloh swt.” (Tafsir Ibnu Katsir : 4 / 575).

JIN QORIN BAGIAN DARI SYETAN

            Jin Qorin adalah syetan pengganggu dan perusak kehidupan orang-orang beriman. Jin Qorin adalah bagian dari musuh kita yang harus diwaspadai sebagaimana yang Alloh swt tlah jelaskan dalam Al Qur’an.
            Semakin rajin seseorang melakukan ibadah, maka semakin berat jin Qorin melakukan gangguan, jin Qorin akan menjadi kurus, lemah danloyo serta sakit-sakitan.

Sebaliknya bila seseorang semakin jauh dari Alloh swt, maka jin Qorin semakin senangdan betah atau kerasan. Jin Qorin itu akan menjadi gemuk, kuat dan bertenaga, garang dan ganas.

            Seharusnya seluruh gerak orang mukmin adalah ibadah, isi hatinya adalah iman yang benar, hiasan bibirnya adalah dikir, sebagaimana kehidupan Rosulullah saw dan para sahabat serta para ulama yang mengikuti jejak langkahnya. Sehingga ia mudah mengendalikan bisikan jahat jin Qorinnya, dan iapun dijauhkan dari jerat-jerat syetan lainnya yang selalu berusaha menjerumuskannya.

DENGAN IBADAH, SYETAN MENADI LEMAH

            Satu-satunya carauntuk memperlemah kekuatan dan dominasi syetan dalam diri kita adalah dangan beribadah kepada Alloh swt. Ibadah dengan cara yang benar dan dilaksanakan dengan ikhlas. Karena bila ibadah tersebut dilaksanakan dengan cara yang menyimpang dari ajaran Rosulullah saw maka Alloh akan menolaknya, dan syetan malah menjadi riang dan senang. Akhirnya iblis dan syetan menjadi dekatdan akrab dengan kita.

            Dengan mendekatkan diri melalui ibadah baik ibadah wajib atau sunnah,posisi kita denganAlloh swt  semakin dekat, dan iman kita semakin kuat. Lalu kita masuk ke komunitas hamba Alloh swt yang dilindungi.
            Dan yang harus kita lakukan sekarang ialah memperlemah kekuatan pengaruh dan  dominasi jin Qorin tersebut.
            Denengan beribadah dan dzikir yang kita lakukan, jin Qorin yang ada bersama kita akn menjadi lemah atau tidak berdaya. Walaupen keberadaannya masih eksis mengiringi kita, tapi pengaruhnya akan melemah. Ia tidak mampu menjalankan misi utamanya dengan baik, atau sekalipun masih melakukan bisikan, maka bisikan itu menjadi lemah.

KEKUATAN IBADAH DAN DZIKIR

            Sesungguhnya pengertian ibadah dan dzikir tak jauh berbeda. Hanya saja ibadah sifatnya lebih umum. Dzikir ada yang diwajibkan dan ada yang di sunnahkan. Dzikir juga mempunyai pengertan umum dan khusus.
Segala ibadah yang kita laksanakan untuk mengingat Alloh swt adalah dzikir, termasuk sholat.
Alloh swt berfirman, ”Dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”   (QS. Thaha : 14).

            Ibadah dan dzikrulloh sebagaimana yang telah diajarkan Rosululloh sawjuga berfungsi untuk memproteksi pelakunya dari gangguan dan kejahatan syetan.

            Rosullullah saw bersabda dalam riwayat berikut :
Dari Abul Malih, dari seorang lelaki, ia berkata : “Aku pernah dibonceng Rosulullah saw di atas keledainya. Ketika keledai itu tersandung , aku berkata : “Celakalh syetan!“ Rosulullah saw bersabda, “Janganlah berkata seperti itu, syetan akan membesarsampai sebesar rumah lalu berkata, “Aku telah membantingnya dengan kekuatanku”. Tapi bacalah Bismillah,karena jika kamu baca itu (Bismillah) ia akan mengecil hingga sekecil lalat.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i, dan disahihkan al-Abani).

BEKERJASAMA DENGAN JIN QORIN

            Ada sebagian orang yang bergagasan , bahkan sebagian masyarakat tidak berhenti hanya sekedar gagasan, Mereka telah berusaha dengan berbagai macam cara untuk bisa memanfaatkan keberadaan jinQorin yang dimilikinya. Ada yang mengaku bahwa ia telah berhasil, ia mempunyai kemampuan untuk meramal masa depannya atau bisa mebaca pikiran dan kehendak seseorang, sebelum orang tersebut menceritakannya.

            Kalau memang pengakuannya benar, bahwa mereka mampu menundukkan jin untuk bekerjasama dengannya. Maka disini perlu ditegaskan, bahwa jin yang bersedia kerjasama dengannya belum tentu sebagai jin Qorinnya. Bisa saja jin lain yang hadir dalam kehidupannya, lalu bersedia kerjasama dengannya dengan misi utama, yaitu untuk menyesatkannya.Walaupun tidak diajak kejasama, syetan akan hadir dalam kehidupan manusia untuk menyesatkannya. Apalagi kalau manusianya sendiri yang mengajak kerjasama.

            Jin Qorin atau syaitan hakikatnya adalah musuh kita bersama. Alloh swt dan Rosul-Nya telah menyeru kita untuk menjauhi mereka, mewasdai tipu dayanya dan senantiasa memohon perlindungan dari kejahatan mereka. Kalau kenyataannya kita malah beusaha untuk bekerjasama dengan mereka, berarti kita telah menyalahi perintah Alloh swt dan menerjang larangan-Nya.  Alloh swt dengan tegas melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerjasama dengan jin (LihatQS  al-Jin: 6). Karena kebanyakan jin itu adalah jin yang menyesatkan. Kalau da jin yang muslim yang mau hadir dalam kehidupan seorang manusia, berarti ia jin muslim yang tidak shalih atau hanya mengaku-aku saja.

Karena jin muslim yang shalih punya tugas sendiri dari Alloh swt, yaitu untuk beribadah kepada-Nya, bukan mengurusi manusia.

DAMPAK BURUK DARI PEMAHAMAN YANG SALAH

            Karena salah memahami keberadaan jin Qorin dan fungsinya,banyak orang yang menyalahkan terapi ruqyah Syar’iyah, mereka meyakini bahwa sekali ruqyah, semua jin akan menjauhi, termasuk jin Qorin. Padahal rukyah hanya sarana bagi kita untuk segera kembali ke ajaran syariat Islam. Pasca terapi ruqyah, pasyen harus rajin beribadah agar bisikan jahat dari jin Qorin yang masih ada melemah.

            Ketika ada orang yang bisa membaca pikiran seseorang, belum tentu hasil baca pikirannya itu benar semua. Kalaupun banyak benarnya,bisa jadi itu adalah ulah jin Qorin dari orang yang dibaca pikirannya. Ia memberi tahu kepada in peramal itu akan biodata dan agenda hariannya. Lalu jin perewangan peramal memberi tahu peramal, sehingga peramal bisa nyerocos kesana kemari. Akhirnya kita lebih percaya peramal nasib daripada takdir Alloh swt. 

            Kalau ada rang yang meninggal, tiba-tiba ada kerabatnya melihat sosoknya,diyakini itu adalah roh yang gentayangan. Belum tenang dalam kuburnya, karena kurang sesajen, sehingga harus dilakukan ritual tertentu, agar rohnya kekal di alam baka. Padahal itu bukan roh yang mati yang bergentayangan, tapi jin yang menyerupai sosoknyauntuk membuat fitnah bagi yang masih hidup.Atau jin Qorinnya sendiri, karena tidak ada keterangan bahwa jin Qorin akan mati bersamamatinya orang yang diikuti.

            Demikianlah masih banyak pemahaman yang salah akan hakikat roh manusia dan iman kepada yang ghoib yang menyimpang. Atau bisa jadi karena minimnyapemahaman mereka tentang alam jinyang sesuai syariat Islam.




Dipetik dari : Majalah”Ghoib” edisi 73 tahun 1996)
http://pecintakeadilan.blogspot.com/2011/03/normal-0-false-false-false.html
Republish Untuk Dipelajari Dan Menambah Keimanan.